Monday, September 10, 2007

ramadhan......ramadhan

Ramadhan Kurang Beberapa Hari, Apa Persiapan Anda?


Minggu, 09 September 2007
Ramadhan tinggal beberapa hari. Sebagaian kaum Muslim mempersiapkan diri. Tapi banyak juga yang tak tahu-menahu. Lantas, apa persiapan kita?
Hidayatullah.com—Eman, 19, yang tahun ini kuliah di perguruan tinggi berharap untuk memasuki fakultas kedokteran. Dan Ramadhan ini, ia akan pulang lebih awak dari sekolah untuk membantu ibu nya mempersiapkan makanan sore, menahan diri untuk tak mencicipi makanan. “ Ini suatu pesta besar, seperti makan malam kalkun pada Thanksgiving,” dia berkata. Bagi Eman, puasa memberi pelajaran kesabaran dan pengendalian-diri nya.
Begitu pula dengan Muhammad (16), yang kini dudul Tempe’s Corona del Sol High School. Baginya, ia terpaksa harus rela memilih berpisah dari teman-temannya yang biasa main sepak bola dan basket di akhir pekan.
“Aku harus memilih salah satu, maka saya lebih memilih Al-Quran. Sebab sepak bola adalah sesuatu hal musiman, tetapi Al-Quran akan menginap di rumah aku untuk selamanya,” ujar Muhammad. Dan gol nya, setelah lulus nanti, ia, akan pergi ke Mesir dan menghabiskan tujuh tahun belajar syariah, atau Hukum Islam, dan mungkin, suatu hari akan menjadi imam di suatu mesjid.
Walaupun Ramadhan masih lima hari lagi, keluarga pasangan Abdelmoneim dan Amal Mabrouk serta Sembilan anaknya nampak sibuk mempersiapkan diri. Bersama keluarga besarnya, mulai latihan berpuasa, untuk menindas kebiasaan makan mereka dan mengarahkan aktivitas keduniawian.
”Ini suatu hal yang baik kamu praktekan,” kata putranya yang berumur 11 tahun, Yassin. “ Di hari pertama, itu benar-benar sulit sebab kamu tidak terbiasa untuk itu, dan kemudian setelah 10 hari, kamu masih berjuang.” Dan nanti, sepanjang 10 hari terakhir, keluarga ini akan lebih sering berada di masjis guna mengambil energi dari bulan Ramadhan, tiang Islam yang ketiga.
Keluarga pasangan Abdelmoneim dan Amal Mabrouk adalah salah satu contoh dari sekian keluarga Muslim yang kini tinggal di Amerika Serikat (AS). Ramadhan dimulai pada hari Kamis depan. Tapi persiapan keluarga ini sudah cukup matang.
Bulan Juni lalu, misalnya, di selatan masjis Tempe, Muhammad telah mendapat sertifikat lulus hafalan Al- Quran, suatu kecakapan membaca dan menghafal ayat Al-Quran.
“Benar, ini akan menjadi kitab yang paling dihafalkan di seluruh dunia,” ujar Muhammad. “ Adalah hal sulit di Amerika, sebab di sini tidak ada masjid di sekitar sini untuk dapan belajar, ” ujarnya dikutip Tribune.com.
“ Selama Ramadhan, ibu ku membuat makanan yang menarik tidak seperti hari-hari biasa,” ujar Yousef sembari tersenyum. Puasa juga menyebabkan orang-orang di sekitar sering menanyakan, “Ketika orang-orang bertemu denganku, aku katakan, ”Aku berpuasa,” ujar kakaknya, Eman. Dan itu memimpin ke arah suatu perbincangan, terutama memberi pengenalan tentang Islam.”
Terutama sepanjang bulan Ramadhan, keluarga ini nampak secara kontinyu bolak-balik ke masjid untuk doa.
Meriah Lampion
Suasa menjelang datangnya bulan Ramadhan nampak meriah di Mesir. Di negeri piramid ini suasanya terasa agak berbeda. Tenda-tenda toko berwarna merah dengan corak bunga yang khas mulai menghiasa tepi jalanan protokol. Rumah-rumah dan dang-gang mulai memasang lampion Ramadhan yang kebanyakan berwarna merah. Masjid-masjid pun dihias dengan lampu warna-warni, sehingga ketika malam hari masjid-masjid tampak gemerlapan. Bagi masyarakat Mesir, hal ini adalah sebuah ungkapan rasa syukur atas datangnya bulan Ramadhan.
Aktivitas tetap berjalan walau bulan Ramadhan, akan tetapi ibadah yang lain juga tidak ditinggalkan. Agar tetap bisa membaca Al Quran, para pegawai dan pelajar membawa Al Quran ukuran saku. Sehingga jangan heran jika banyak menjumpai orang membaca Al Quran, baik itu di halte-halte, dalam trem atau bus. Bahkan tampak beberapa anggota militer yang berseragam hitam-hitam bersenjatakan AK 47 membaca Al Quran di dalam pos penjagaan mereka di tiap persimpangan jalan. Ini adalah pemandangan lazim yang bisa kita temui selain di bulan Ramadhan, walau tidak terlalu banyak. Karena memang rakyat Mesir sudah amat ”akrab” dengan Al Quran. Survei tahun 2002 menunjukkan bahwa 18 persen dari penduduk mesir yang berjumlah 67 juta jiwa adalah hafidz (hafal) Al Quran, maka jika ada 6 orang Mesir, maka salah satunya hafidz.
Untuk berbuka puasa, banyak tempat yang menyediakannya secara gratis, baik itu atas nama pribadi atau organisasi, yang biasanya disebut dengan maidaturrahman. Di sana juga ada kue khusus yang hanya ditemukan ketika Ramadhan, yaitu atayef (seperti kue serabi)
Shalat terawih biasanya membludak hingga tepi jalan, umumnyanya panjang bacaan satu juz dalam satu malam, sehingga ditargetkan khatam 30, setelah Ramadhan berakhir. Tapi ada beberapa masjid yang memiliki bacaan extra panjang, semisal masjid Imam Syafi’i yang mentargetkan satu malam 5 juz, hingga shalat tarawih selesai menjelang sahur.
Akan tetapi jamaahnya tetap ramai, karena rata-rata mereka adalah hufadz Al Quran. Masjid Amru bin Ash juga banyak didatangi, karena imamnya, Syaikh Jibril terkenal memiliki suara yang merdu. Tidak hanya suara, tapi doa qunut witirnya nya yang panjang hingga satu jam juga memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat Mesir.
Mirip dengan Indonesia, di Mesir ternyata ada juga tradisi ronda untuk membangunkan orang sahur, yaitu dengan memukul benda-benda sambil mengelilingi kampung dan berseru, ”ramadan kariiim!” (Ramadhan yang mulia) Jika berpapasan maka kita menjawab, ”Allahu Akram” (Allah yang Maha Mulya).
Pada sepuluh malam terakhir, terlihat kaum muslim, khususnya anak-anak muda, dengan ransel mereka, berbondong-bondong menuju masjid, untuk melakukan i’tikaf.
Arab Saudi
Suasana Ramadhan di Arab Saudi tidaklah terlalu berbeda dengan suasana di negara Timur Tengah lainnya. Rata-rata mereka memiliki antusias tinggi dalam menyongsong bulan yeng penuh berkah ini.
Akan tetapi, ada yang istimewa di sana, tepatnya di masjid Al Haram Makkah dan masjid Nabawi, Madina. Di waktu-waktu tertentu jumlah jama’ah di kedua masjid itu melebihi jumlah jama’ah pada saat musim haji. Yaitu pada malam-malam ganjil di bulan Ramadhan, khususnya malam ke 27. Hal itu dikarenakan seluruh muslim di dunia berkumpul di tempat ini untuk memburu Lailatul Qadar, dan penduduk lokal pun tidak mau tertinggal, sehingga pada hari-hari itu shalat jama’ah dipusatkan di Masjid Al Haram.
Shalat terawih sebanyak 23 rakaat dengan sujud dan rukuk yang cukup lama, sehingga seseorang yang sudah dilanda kantuk bisa saja langsung terlelap, apalagi dengan bacaan imam yang merdu. Di akhir raka’at doa qunut panjang yang banyak berisi permohonan pertolongan terhadap umat ini dikumandangkan, sehingga banyak jama’ah yang terseduh-seduh karena begitu khidmatnya.
Karena banyaknya jumlah jama’ah di masjid Al Haram, maka jika seseorang ingin beri’tikaf ia harus memesan tempat, yang hanya berupa gelaran sajadah atau selimut. Karena kemudahan itu, maka sering terjadi tengkar mulut dan adegan saling desak serta klaim “kapling” ketika hendak melakukan shalat. Maka bisa dibayangkan jika waktu istirahat malam tiba, maka jama’ah bak ikan-ikan yang berjajar.
Untuk berbuka, para muhsinin sudah mempersiapkan makanan dan minuman yang diletakkan di atas plasik panjang di lantai masjid dan itu sudah dilakukan setelah shalat Ashar.
Adapun di Masjid Nabawi, suasana relatif lebih tenang, tidak sepadat masjid Al Haram, sehingga mereka yang beri’tikaf bisa membawa tas-tas besar berserta peralatan. Makanan berat pun disediakan secara cuma-cuma dan antusias mereka untuk menjamu orang yang berpuasa amat tinggi, sehingga banyak yang berebut dan menarik-narik tangan para jama’ah agar ikut berbuka bersama mereka.
Hilang Semangat
Berbeda dengan keluarga Amal Mabrouk, dan beberapa warga Muslim lain di seluruh dunia yang bergembira menyambut datangnya Ramadhan, Huda Abdullah (65), nenek asal Iraq ini mulai kehilangan minatnya pada Ramadhan. Sebelum hadirnya pasukan asing meluluh-lantakkan negerinya, ia terbiasa menanti bulan suci ini dengan suka-ria. Bahkan, selalu ada perayaan menyambutnya. Namun, kali ini dia tak begitu berminat.
Dulu, sebelum datangnya pasukan asing di bawah Amerika, dia menyambut Ramadhan, dengan pergi ke pasar. Membeli daging, telor dan barang-barang lain. Ketika perayaan dimulai, ia bersama empat anaknya serta famili lain akan berkumpul menyantap makanan. Ada kacang-kacangan, sup, sate biri-biri dan panggang ayam. Kemudian, keseluruhan keluarga itu akan berjalan-jalan di sepanjang jalan Baghdad selama berjam-jam setelah gelap dan menyambut para teman dan tetangganya. Tapi, melihat kondisi Iraq, mungkin itu hanyalah ilusi.
”Ramadhan kali ini telah membuat hilangnya selera saya," ujar Abdullah. " Di masa lalu, kita bahkan menunggu dan menghitung hari untuk menerima Ramadhan. Sekarang aku tidaklah tertarik sama sekali,” tambahnya. Penyebabnya tak lain kondisi Baghdad yang hancur dan tak ada rasa aman.
Sejak invasi yang dilakukan Amerika tahun 2003, kekerasan telah meningkat selama Ramadhan. Ketidak amanan di Iraq menjadi pembatas gerakan masyarakat umum. Selain ada pasukan asing, penculikan para milisi juga ada di mana-mana.
Bahkan tahun lalu, polisi Iraq justru menghalang-halangi akses beberapa masjid selama bulan Ramadhan karena perkelahian sektarian, ujar Karam Hareth (34), seorang karyawan di Kementrian, sebagaimana dikutip USA Today.
Para pedagang Iraq juga mengaku kekurangan uang. Abdel Hamid Alwan (56), yang biasa berjualan di Malika supermarket, di Baghdad timur, mengaku tak kurang persediaan barang di toko nya. Tapi ya itu tadi, banyak barang tidak laku. "Sedikit sekali orang yang berbelanja," ujarnya. Baghdad, tak ubahnya suatu kota besar yang mati ketika malam datang, ujar Hareth. Meski agak frustasi, setidaknya bagi Abdullah dan Hareth, ia masih berharap bisa menyambut Ramadhan sebagaimana sebelum datanya pasukan asing di negerinya.

[thoriq/cha/berbagai sumber/www.hidayatullah.com]
Litbang
Tarbawifkipuntan.blogspot.com

Ramadhan.....Ramadhan

Ramadhan Kurang Beberapa Hari, Apa Persiapan Anda?


Minggu, 09 September 2007
Ramadhan tinggal beberapa hari. Sebagaian kaum Muslim mempersiapkan diri. Tapi banyak juga yang tak tahu-menahu. Lantas, apa persiapan kita?
Hidayatullah.com—Eman, 19, yang tahun ini kuliah di perguruan tinggi berharap untuk memasuki fakultas kedokteran. Dan Ramadhan ini, ia akan pulang lebih awak dari sekolah untuk membantu ibu nya mempersiapkan makanan sore, menahan diri untuk tak mencicipi makanan. “ Ini suatu pesta besar, seperti makan malam kalkun pada Thanksgiving,” dia berkata. Bagi Eman, puasa memberi pelajaran kesabaran dan pengendalian-diri nya.
Begitu pula dengan Muhammad (16), yang kini dudul Tempe’s Corona del Sol High School. Baginya, ia terpaksa harus rela memilih berpisah dari teman-temannya yang biasa main sepak bola dan basket di akhir pekan.
“Aku harus memilih salah satu, maka saya lebih memilih Al-Quran. Sebab sepak bola adalah sesuatu hal musiman, tetapi Al-Quran akan menginap di rumah aku untuk selamanya,” ujar Muhammad. Dan gol nya, setelah lulus nanti, ia, akan pergi ke Mesir dan menghabiskan tujuh tahun belajar syariah, atau Hukum Islam, dan mungkin, suatu hari akan menjadi imam di suatu mesjid.
Walaupun Ramadhan masih lima hari lagi, keluarga pasangan Abdelmoneim dan Amal Mabrouk serta Sembilan anaknya nampak sibuk mempersiapkan diri. Bersama keluarga besarnya, mulai latihan berpuasa, untuk menindas kebiasaan makan mereka dan mengarahkan aktivitas keduniawian.
”Ini suatu hal yang baik kamu praktekan,” kata putranya yang berumur 11 tahun, Yassin. “ Di hari pertama, itu benar-benar sulit sebab kamu tidak terbiasa untuk itu, dan kemudian setelah 10 hari, kamu masih berjuang.” Dan nanti, sepanjang 10 hari terakhir, keluarga ini akan lebih sering berada di masjis guna mengambil energi dari bulan Ramadhan, tiang Islam yang ketiga.
Keluarga pasangan Abdelmoneim dan Amal Mabrouk adalah salah satu contoh dari sekian keluarga Muslim yang kini tinggal di Amerika Serikat (AS). Ramadhan dimulai pada hari Kamis depan. Tapi persiapan keluarga ini sudah cukup matang.
Bulan Juni lalu, misalnya, di selatan masjis Tempe, Muhammad telah mendapat sertifikat lulus hafalan Al- Quran, suatu kecakapan membaca dan menghafal ayat Al-Quran.
“Benar, ini akan menjadi kitab yang paling dihafalkan di seluruh dunia,” ujar Muhammad. “ Adalah hal sulit di Amerika, sebab di sini tidak ada masjid di sekitar sini untuk dapan belajar, ” ujarnya dikutip Tribune.com.
“ Selama Ramadhan, ibu ku membuat makanan yang menarik tidak seperti hari-hari biasa,” ujar Yousef sembari tersenyum. Puasa juga menyebabkan orang-orang di sekitar sering menanyakan, “Ketika orang-orang bertemu denganku, aku katakan, ”Aku berpuasa,” ujar kakaknya, Eman. Dan itu memimpin ke arah suatu perbincangan, terutama memberi pengenalan tentang Islam.”
Terutama sepanjang bulan Ramadhan, keluarga ini nampak secara kontinyu bolak-balik ke masjid untuk doa.
Meriah Lampion
Suasa menjelang datangnya bulan Ramadhan nampak meriah di Mesir. Di negeri piramid ini suasanya terasa agak berbeda. Tenda-tenda toko berwarna merah dengan corak bunga yang khas mulai menghiasa tepi jalanan protokol. Rumah-rumah dan dang-gang mulai memasang lampion Ramadhan yang kebanyakan berwarna merah. Masjid-masjid pun dihias dengan lampu warna-warni, sehingga ketika malam hari masjid-masjid tampak gemerlapan. Bagi masyarakat Mesir, hal ini adalah sebuah ungkapan rasa syukur atas datangnya bulan Ramadhan.
Aktivitas tetap berjalan walau bulan Ramadhan, akan tetapi ibadah yang lain juga tidak ditinggalkan. Agar tetap bisa membaca Al Quran, para pegawai dan pelajar membawa Al Quran ukuran saku. Sehingga jangan heran jika banyak menjumpai orang membaca Al Quran, baik itu di halte-halte, dalam trem atau bus. Bahkan tampak beberapa anggota militer yang berseragam hitam-hitam bersenjatakan AK 47 membaca Al Quran di dalam pos penjagaan mereka di tiap persimpangan jalan. Ini adalah pemandangan lazim yang bisa kita temui selain di bulan Ramadhan, walau tidak terlalu banyak. Karena memang rakyat Mesir sudah amat ”akrab” dengan Al Quran. Survei tahun 2002 menunjukkan bahwa 18 persen dari penduduk mesir yang berjumlah 67 juta jiwa adalah hafidz (hafal) Al Quran, maka jika ada 6 orang Mesir, maka salah satunya hafidz.
Untuk berbuka puasa, banyak tempat yang menyediakannya secara gratis, baik itu atas nama pribadi atau organisasi, yang biasanya disebut dengan maidaturrahman. Di sana juga ada kue khusus yang hanya ditemukan ketika Ramadhan, yaitu atayef (seperti kue serabi)
Shalat terawih biasanya membludak hingga tepi jalan, umumnyanya panjang bacaan satu juz dalam satu malam, sehingga ditargetkan khatam 30, setelah Ramadhan berakhir. Tapi ada beberapa masjid yang memiliki bacaan extra panjang, semisal masjid Imam Syafi’i yang mentargetkan satu malam 5 juz, hingga shalat tarawih selesai menjelang sahur.
Akan tetapi jamaahnya tetap ramai, karena rata-rata mereka adalah hufadz Al Quran. Masjid Amru bin Ash juga banyak didatangi, karena imamnya, Syaikh Jibril terkenal memiliki suara yang merdu. Tidak hanya suara, tapi doa qunut witirnya nya yang panjang hingga satu jam juga memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat Mesir.
Mirip dengan Indonesia, di Mesir ternyata ada juga tradisi ronda untuk membangunkan orang sahur, yaitu dengan memukul benda-benda sambil mengelilingi kampung dan berseru, ”ramadan kariiim!” (Ramadhan yang mulia) Jika berpapasan maka kita menjawab, ”Allahu Akram” (Allah yang Maha Mulya).
Pada sepuluh malam terakhir, terlihat kaum muslim, khususnya anak-anak muda, dengan ransel mereka, berbondong-bondong menuju masjid, untuk melakukan i’tikaf.
Arab Saudi
Suasana Ramadhan di Arab Saudi tidaklah terlalu berbeda dengan suasana di negara Timur Tengah lainnya. Rata-rata mereka memiliki antusias tinggi dalam menyongsong bulan yeng penuh berkah ini.
Akan tetapi, ada yang istimewa di sana, tepatnya di masjid Al Haram Makkah dan masjid Nabawi, Madina. Di waktu-waktu tertentu jumlah jama’ah di kedua masjid itu melebihi jumlah jama’ah pada saat musim haji. Yaitu pada malam-malam ganjil di bulan Ramadhan, khususnya malam ke 27. Hal itu dikarenakan seluruh muslim di dunia berkumpul di tempat ini untuk memburu Lailatul Qadar, dan penduduk lokal pun tidak mau tertinggal, sehingga pada hari-hari itu shalat jama’ah dipusatkan di Masjid Al Haram.
Shalat terawih sebanyak 23 rakaat dengan sujud dan rukuk yang cukup lama, sehingga seseorang yang sudah dilanda kantuk bisa saja langsung terlelap, apalagi dengan bacaan imam yang merdu. Di akhir raka’at doa qunut panjang yang banyak berisi permohonan pertolongan terhadap umat ini dikumandangkan, sehingga banyak jama’ah yang terseduh-seduh karena begitu khidmatnya.
Karena banyaknya jumlah jama’ah di masjid Al Haram, maka jika seseorang ingin beri’tikaf ia harus memesan tempat, yang hanya berupa gelaran sajadah atau selimut. Karena kemudahan itu, maka sering terjadi tengkar mulut dan adegan saling desak serta klaim “kapling” ketika hendak melakukan shalat. Maka bisa dibayangkan jika waktu istirahat malam tiba, maka jama’ah bak ikan-ikan yang berjajar.
Untuk berbuka, para muhsinin sudah mempersiapkan makanan dan minuman yang diletakkan di atas plasik panjang di lantai masjid dan itu sudah dilakukan setelah shalat Ashar.
Adapun di Masjid Nabawi, suasana relatif lebih tenang, tidak sepadat masjid Al Haram, sehingga mereka yang beri’tikaf bisa membawa tas-tas besar berserta peralatan. Makanan berat pun disediakan secara cuma-cuma dan antusias mereka untuk menjamu orang yang berpuasa amat tinggi, sehingga banyak yang berebut dan menarik-narik tangan para jama’ah agar ikut berbuka bersama mereka.
Hilang Semangat
Berbeda dengan keluarga Amal Mabrouk, dan beberapa warga Muslim lain di seluruh dunia yang bergembira menyambut datangnya Ramadhan, Huda Abdullah (65), nenek asal Iraq ini mulai kehilangan minatnya pada Ramadhan. Sebelum hadirnya pasukan asing meluluh-lantakkan negerinya, ia terbiasa menanti bulan suci ini dengan suka-ria. Bahkan, selalu ada perayaan menyambutnya. Namun, kali ini dia tak begitu berminat.
Dulu, sebelum datangnya pasukan asing di bawah Amerika, dia menyambut Ramadhan, dengan pergi ke pasar. Membeli daging, telor dan barang-barang lain. Ketika perayaan dimulai, ia bersama empat anaknya serta famili lain akan berkumpul menyantap makanan. Ada kacang-kacangan, sup, sate biri-biri dan panggang ayam. Kemudian, keseluruhan keluarga itu akan berjalan-jalan di sepanjang jalan Baghdad selama berjam-jam setelah gelap dan menyambut para teman dan tetangganya. Tapi, melihat kondisi Iraq, mungkin itu hanyalah ilusi.
”Ramadhan kali ini telah membuat hilangnya selera saya," ujar Abdullah. " Di masa lalu, kita bahkan menunggu dan menghitung hari untuk menerima Ramadhan. Sekarang aku tidaklah tertarik sama sekali,” tambahnya. Penyebabnya tak lain kondisi Baghdad yang hancur dan tak ada rasa aman.
Sejak invasi yang dilakukan Amerika tahun 2003, kekerasan telah meningkat selama Ramadhan. Ketidak amanan di Iraq menjadi pembatas gerakan masyarakat umum. Selain ada pasukan asing, penculikan para milisi juga ada di mana-mana.
Bahkan tahun lalu, polisi Iraq justru menghalang-halangi akses beberapa masjid selama bulan Ramadhan karena perkelahian sektarian, ujar Karam Hareth (34), seorang karyawan di Kementrian, sebagaimana dikutip USA Today.
Para pedagang Iraq juga mengaku kekurangan uang. Abdel Hamid Alwan (56), yang biasa berjualan di Malika supermarket, di Baghdad timur, mengaku tak kurang persediaan barang di toko nya. Tapi ya itu tadi, banyak barang tidak laku. "Sedikit sekali orang yang berbelanja," ujarnya. Baghdad, tak ubahnya suatu kota besar yang mati ketika malam datang, ujar Hareth. Meski agak frustasi, setidaknya bagi Abdullah dan Hareth, ia masih berharap bisa menyambut Ramadhan sebagaimana sebelum datanya pasukan asing di negerinya. [thoriq/cha/berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

cerita Ayah

Assalamualakum Wr. Wb

Terimakasih Ayah, telah menunjukkan kepada saya betapa miskinnya kita. Suatu ketika seseorang yang sangat kaya mengajak anaknya mengunjungi sebuah kampung dengan tujuan utama memperlihatkan kepada anaknya betapa orang-orang bisa sangat miskin. Mereka menginap beberapa hari di sebuah daerah pertanian yang sangat miskin. Pada perjalanan pulang, sang Ayah bertanya kepada anaknya.
"Bagaimana perjalanan kali ini?"

"Wah, sangat luar biasa Ayah"

"Kau lihatkan betapa manusia bisa sangat miskin" kata ayahnya.

"Oh iya" kata anaknya

"Jadi, pelajaran apa yang dapat kamu ambil?" tanya ayahnya.

Kemudian si anak menjawab.

"Saya saksikan bahwa :

Kita hanya punya satu anjing, mereka punya empat. Kita punya kolam renang yang luasnya sampai ke tengah taman kita dan mereka memiliki telaga yang tidak ada batasnya. Kita mengimpor lentera-lentera di taman kita dan mereka memiliki bintang-bintang pada malam hari. Kita memiliki patio sampai ke halaman depan, dan mereka memiliki cakrawala secara utuh. Kita memiliki sebidang tanah untuk tempat tinggal dan mereka memiliki ladang yang melampaui pandangan kita. Kita punya pelayan-pelayan untuk melayani kita, tapi mereka melayani sesamanya. Kita membeli untuk makanan kita, mereka menumbuhkannya sendiri. Kita mempunyai tembok untuk melindungi kekayaan kita dan mereka memiliki sahabat-sahabat untuk saling melindungi."

Mendengar hal ini sang Ayah tak dapat berbicara.

Kemudian sang anak menambahkan "Terimakasih Ayah, telah menunjukkan kepada saya betapa miskinnya kita."

Betapa seringnya kita melupakan apa yang kita miliki dan terus memikirkan apa yang tidak kita punya.

Apa yang dianggap tidak berharga oleh seseorang ternyata merupakan dambaan bagi orang lain.

Semua ini berdasarkan kepada cara pandang seseorang.

Membuat kita bertanya apakah yang akan terjadi jika kita semua bersyukur kepada Allah swt sebagai rasa terima kasih kita atas semua yang telah disediakan untuk kita daripada kita terus menerus khawatir untuk meminta lebih.